logo seputarnusantara.com

Sangat Ironis, Negeri Pantai Terpanjang Kedua di Dunia Tapi Pengimpor Garam

Sangat Ironis, Negeri Pantai Terpanjang Kedua di Dunia Tapi Pengimpor Garam

Usman Perdana Kusuma, Dirut PT.Garam

22 - Sep - 2015 | 15:54 | kategori:Headline

Jakarta. Seputar Nusantara. Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan panjang 95.181 km.

Selain itu, Indonesia mempunyai 2/3 luas wilayah dalam bentuk lautan.

Namun fakta-fakta yang dahsyat tersebut tak membuat Indonesia mandiri dalam hal produksi garam. Setiap tahun, Indonesia harus mengimpor jutaan ton garam impor untuk kebutuhan industri. Rata-rata ada impor garam sebanyak 2,2 juta ton, sedangkan kebutuhan per- tahun sekitar 4 juta ton.

Sebanyak 1,8 juta ton garam kebutuhan konsumsi dipasok dari produsen lokal, sedangkan garam industri harus dipenuhi secara impor mencapai 2,2 juta ton. Padahal, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak bibir pantai yang bisa dimanfaatkan untuk ladang garam. Apa penyebab Indonesia masih impor garam jutaan ton?

Direktur Utama PT. Garam (Persero), Usman Perdana Kusuma menyebut, setidaknya ada 3 penyebab Indonesia masih menjadi negara importir garam. Pertama, Usman menyebut masa panen dan pengolahan garam di Indonesia relatif sangat singkat dan sederhana.

Di Indonesia, proses memanen garam oleh petani hanya dilakukan dalam waktu 4-8 hari, sedangkan negara importir seperti Australia memanen hasil garam setelah melalui proses 3 sampai 4 bulan. Akibatnya, kualitas garam Indonesia menjadi sangat rendah.

Selain itu, petani garam yang mayoritas masih tradisional tidak melakukan beberapa tahapan pengolahan garam. Berbeda dengan negara industri garam yang melakukan beberapa tahap untuk memperoleh garam kualitas tinggi (high grade).

” Industri punya 3 tahap jadikan garam kalau petani 1 tahap. Ketiga tahap ini untuk mendapatkan kualitas garam yang kuaitas high grade,” kata Usman, Senin (21/9/2015).

Kendala kedua adalah teknologi. Usman mengakui pihaknya sebagai korporasi dan petani garam belum memiliki teknologi pengolahan (refinery) untuk garam yang berkualitas rendah. Refinery diperlukan untuk menaikkan kualitas garam agar sesuai kebutuhan industri makanan minuman yang selama ini masih impor.

” Refinery garam memproses garam kualitas rendah untuk menghasilkan garam dengan kemurnian 98%. Kadar magnesium dan kadar air diperkecil,” jelasnya.

Selanjutnya kendala ketiga adalah kesulitan mencari lahan baru. Indonesia memerlukan tambahan lahan baru di tepi pantai yang relatif luas, minimal 5.000 hektar yang tidak terpisah-pisah. Saat ini, ladang garam masih terpusat di daerah Madura, Jawa Timur. Mayoritas, sistem pengolahan pun masih sangat tradisional.

” Lahan nggak bisa terpecah dan harus terintegrasi. Kenapa? Dalam rangka mekanisasi agar biaya produksi kecil. Semua harus full mekanisasi,” jelasnya. (dtc/Aziz)

BERANDA | RSS 2.0 | KATEGORI: Headline | Both comments and pings are currently closed.

Comments are closed.

Tulisan dengan Kategori Headline