logo seputarnusantara.com

Irma Suryani Chaniago : Regulasi Hubungan Industrial Perlu Direvisi

Irma Suryani Chaniago : Regulasi Hubungan Industrial Perlu Direvisi

Irma Suryani Chaniago, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem

7 - Okt - 2015 | 15:35 | kategori:Headline

Jakarta. Seputar Nusantara. Hubungan antara buruh dan perusahaan kerap diwarnai dengan perselisihan, baik itu seputar masalah hak, kepentingan, PHK dan lain sebagainya.

Kasus terakhir yang cukup menghentak publik adalah union busting yang dilakukan oleh perusahaan terhadap para pekerjanya.

Hal tersebut tentu berdampak pada ketidakstabilan korporasi yang juga merugikan negara. Hal ini menunjukkan betapa hubungan industrial erat kaitannya dengan semua sendi kehidupan bermasyarakat, bangsa dan bernegara.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Irma Suryani Chaniago menilai bahwa hubungan industrial yang tidak harmonis akan sangat merugikan baik bagi negara maupun untuk buruh sendiri.

” Fenomena perselisihan hubungan industrial diberbagai wilayah tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena akan menghambat terwujudnya pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional,” tuturnya saat memberikan pemaparan di dalam Seminar Sehari Fraksi NasDem MPR RI yang bertajuk Restorasi Hubungan Industrial Demi Mewujudkan Keadilan dan Mendukung Percepatan Pembangunan, Rabu, (07/10) di Jakarta.?

Acara seminar ini adalah hasil kerjasama antara Gerakan Masa Buruh (Gemuruh) Fraksi NasDem, dengan MPR RI yang diselenggarakan di Hotel Mega Anggrek Jakarta. Seminar dibuka oleh Luttfy A. Mutty yang mewakili Ketua Fraksi NasDem MPR RI Bachtiar Aly.

Luthfy A. Mutty menekankan bahwa agenda ini bisa menjadi input bagi Fraksi NasDem guna menyempurnakan Rencana Undang-Undanga (RUU) perburuhan yang masih digodok di DPR. Oleh karenanya, ia berharap agenda ini bisa menjadi jawaban atas seluruh permasalahan bagi buruh di Indonesia.

Senada dengan pernyataan dari Luttfy, Hariadi Sukamdi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyatakan bahwa regulasi Indonesia bersifat kaku yang tidak mendukung buruh untuk mendapatkan pekerjaan dalam masa waktu yang panjang. Hal ini bisa dilihat dari UU. No 13 Tahun 2013 yang lebih memberatkan pengusaha karena beban cost untuk membayar pegawai sangat tinggi.

Dalam catatannya, setiap daerah yang notabene sebagai wilayah industri kerap menaikkan Upah Minimum Pegawai (UMP) dari 30 sampai 70 persen yang justru mengacaukan kalkulasi ekonomi yang dilakukan oleh pengusaha. Bagi Hariadi, implikasi yang paling nyata saat ini dari regulasi tersebut perusahaan lebih senang mempekerjakan tenaga kontrak.

“ Rata-rata pekerja di Indonesia itu hanya bekerja dalam waktu 8 tahun saja, selepas itu perusahaan mempertimbangkan untuk melakukan pemecatan. Dan implikasi lainnya pengusaha lebih memilih untuk mempekerjakan pekerja yang short term tenaga kontrak. Sebetulnya itu tidak diinginkan oleh perusahaan, tapi tidak ada pilihan lagi,” jelasnya

Sementara itu, Pratiwi Febri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta lebih mencermati mengenai peradilan hubungan industrial yang pada faktanya tidak banyak menyelesaikan permasalahan dari banyaknya kasus perburuhan. Pengadilan hubungan industrial dalam hukum acara pidana masuk kedalam hukum perdata ternyata menempatkan buruh pada posisi yang tidak memiliki daya tawar. Selain itu, Pratiwi juga mengkritisi proses peradilan hukum yang termaktub dalam UU No. 2 Tahun 2004 yang bisa memakan waktu yang lama.

Ia kemudian membandingkan dengan kandungan pasal yang mengatur penyelesaian perselesihan buruh dan pengusaha dalam UU No 22 tahun 1957 yang memosisikan pemerintah sebagai perantara justru lebih efektif bisa menyelesaikan perselisihan.

“ Yang paling lama dalam proses pengadilan hubungan industrial sampai 7 tahun. Itu merugikan bagi pengusaha karena harus membayar proses masa pengadilan kepada buruh dan juga upah selama proses pengadilan. Rekomendasi saya adalah memperbaikai hukum acaranya yang menempatkan buruh dan pengusaha secara sejajar,” papar Pratiwi

Irma S. Chaniago kembali menanggapi ketidakefektifan pengadilan hubungan industrial yang seringkali merugikan kedua belah pihak baik pengusaha maupun buruh sekalipun. Menurut Irma, dari 80 persen kasus penyelesaian hubungan industrial, hanya 15 persen yang dieksekusi sampai ke pengadilan.

Angka tersebut dianggapnya sangat kecil untuk urusan penyelesaian sengketa yang cenderung tidak pro terhadap kedua belah pihak. Untuk itu, Irma mendorong revisi UU No. 22 tahun 2004 untuk segera direvisi agar momok kemandegan penyelesaian hubungan industrial tidak terjadi dimasa mendatang.

“ UU ini tidak adil, tidak mudah, tidak cepat dan tidak murah. Klausulnya mempersulit pekerja dan pengusaha. Salah satu contoh, di dalam UU no. 22 tahun 2004 tidak ada sanksi yang jelas atas putusan pengadilan. Makanya pengusaha tidak taat. Bayangkan saja, sanksinya hanya sangksi administratif. Terhadap pasal 96 keharusan membayar upah proses. Hari ini banyak perusahaan yang tidak mau membayar upah proses. Hakim ad hoc hanya ada di provinsi nah ini mempersulit proses pengadilannya,” tegasnya.

Dukungan revisi UU No. 22 tahun 2004 juga datang dari Sahat yang mewakili Dirjen PHI dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan. Ia mengharapkan adanya perbaikan pasal per pasalnya sehingga undang-undang ini bisa meng-cover permasalahan buruh yang semakin kompleks.

“ Perbaikan anjuran itu harus dilaksanakan. Harusnya bila salah satu pihak yang tidak mencapai kesepakatan maka diharuskan untuk mengajukan ke pengadilan hubungan industrial. Tapi anjuran itu belum ada. Yang perlu ditambahkan lagi dalam revisi UU nya adalah moderator penyelesaian perselisihan harus mengeluarkan risalah penyelesaian masalah yang selama ini belum melakukan itu,” ujarnya. (Aziz)

BERANDA | RSS 2.0 | KATEGORI: Headline | Both comments and pings are currently closed.

Comments are closed.

Tulisan dengan Kategori Headline