logo seputarnusantara.com

Tamanuri, MM. : Pemerintah Harus Cepat Antisipasi Sengketa & Konflik Pertanahan

Tamanuri, MM. : Pemerintah Harus Cepat Antisipasi Sengketa & Konflik Pertanahan

Drs. H. Tamanuri, MM., Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem (Nasional Demokrat)

5 - Jun - 2015 | 16:11 | kategori:Headline

Jakarta. Seputar Nusantara. Salah satu kegiatan dalam program strategis BPN RI adalah percepatan penyelesaian kasus pertanahan. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai dengan peraturan perundang- undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.

Menurut Drs. H. Tamanuri, MM., Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem (Nasional Demokrat), bahwa ada perbedaan antara sengketa pertanahan, konflik pertanahan dan perkara pertanahan. Kalau sengketa pertanahan itu adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.

” Sedangkan konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis,” ungkap Tamanuri kepada seputarnusantara.com di Gedung Nusantara 1 DPR RI- Senayan, pada Kamis 4 Juni 2015.

Tamanuri lebih lanjut memaparkan, sedangkan perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.

” Konflik pertanahan itu sering terjadi 3 macam, pertama, konflik pertanahan masyarakat dengan masyarakat, kedua, antara masyarakat dengan pihak swasta dan ketiga, antara masyarakat dengan pemerintah. Semua itu bermuaranya di pengadilan, sehingga masyarakat enggan untuk mengurus konflik tersebut karena lama dan memakan biaya yang tidak sedikit,” tegas Tamanuri.

Lebih jauh Tamanuri memaparkan, karena proses pengadilan lama dan memakan biaya, seringkali masyarakat mengambil jalan pintas dengan cara demonstrasi dan menduduki suatu instansi atau perusahaan.

” Saya menegaskan agar masyarakat, swasta dan pemerintah tidak larut dalam konflik pertanahan yang berkepanjangan. Karena hal tersebut akan menyita energi yang justru dapat merugikan semua pihak. Ini merupakan kesalahan di regulasi dan juga kesalahan di tingkat implementasi/ lapangan. Di lapangan, kadang- kadang tidak ada titik temu antara pihak yang bersengketa, dan ditingkat regulasi, masalah pertanahan ini sangat kompleks sehingga sampai antre panjang dalam penyelesaiannya,” terang Politisi Partai Nasdem ini.

Jadi, lanjutnya, memang dilema BPN kita ini, pada satu sisi yang mengeluarkan regulasi dan sertifikasi, tetapi pada sisi lain yang berhak memutuskan konflik pertanahan adalah pengadilan. Konflik pertanahan ini tergantung pada situasi dan kondisinya. Ada yang biasa saja, ada yang sedang, tetapi bahkan ada yang sampai memakan korban jiwa, seperti yang terjadi di Mesuji. Karena terkadang dipolitisir oleh pihak- pihak tertentu.

” Pemerintah mesti segera menuntaskan permasalahan jika terjadi konflik pertanahan, agar tidak berkepanjangan. Peran pemerintah daerah juga sangat penting dalam mediasi antara pihak yang berkonflik. Kalau mediasi bisa selesai, maka tidak perlu sampai ke pengadilan. Maka ketegasan pemerintah itu sangat perlu, karena kalau tidak, akan semakin ruwet,” tegasnya.

Menyinggung soal sertifikasi tanah rumah ibadah dan pesantren, menurutnya, pemerintah harus memberikan biaya gratis atas sertifikasi bangunan untuk kegiatan sosial, rumah ibadah dan pesantren. Secara bertahap itu harus dilakukan oleh pemerintah. Sebab, sekarang ini masih banyak bangunan sosial, rumah ibadah dan pesantren yang belum mempunyai sertifikat yang sah dari pemerintah.

” Sertifikasi gratis bangunan sosial, rumah ibadah dan pesantren tersebut untuk menangkal dan mencegah penggusuran- penggusuran. Karena sangat lucu jika sampai ada rumah ibadah atau pesantren yang digusur oleh pemerintah, padahal itu untuk ibadah dan untuk kemajuan bangsa Indonesia juga,” papar Tamanuri.

Terutama di daerah- daerah, terutama di luar Jawa. Banyak tanah yang belum bersertifikat. Jangan sampai karena belum punya sertifikat, pemerintah dengan mudahnya menggusur atau justru menimbulkan konflik di tengah- tengah masyarakat.

” Kami berharap agar semua tanah di Indonesia dibuat surat yang pasti, yakni sertifikat. Ada program pemerintah bagi masyarakat yang kurang mampu untuk mengurus sertifikasi tanahnya. Yang kami prihatin adalah kondisi pertanahan di luar Jawa, banyak yang hanya menggunakan surat keterangan saja, AJB- pun tidak punya. Surat keterangan tersebut hanya ditanda- tangani oleh Kepala Desa dan tokoh- tokoh adat, bahwa itu tanah dia dengan surat risalah tanah, tidak ada sertifikatnya. Jadi, kami menganjurkan kepada masyarakat untuk segera mensertifikatkan tanahnya, agar mempunyai kekuatan dan kepastian hukum,” pungkas Tamanuri di penghujung wawancara. (Aziz)

BERANDA | RSS 2.0 | KATEGORI: Headline | Both comments and pings are currently closed.

Comments are closed.

Tulisan dengan Kategori Headline