logo seputarnusantara.com

GRAy. Koes Moertiyah : Rekonsiliasi 2 Raja Keraton Surakarta Cacat Hukum

GRAy. Koes Moertiyah : Rekonsiliasi 2 Raja Keraton Surakarta Cacat Hukum

Dra. GRAy. Koes Moertiyah, M. Pd., Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat

6 - Jun - 2012 | 13:44 | kategori:Headline

Jakarta. Seputar Nusantara. Rekonsiliasi di Keraton Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah, akhirnya terjadi. Rekonsiliasi setelah kisruh selama delapan tahun itu ditandai dengan penandatanganan kedua belah pihak yang sempat kisruh, yakni Sinuhun Tedjowulan dan Paku Buwono XIII Hangabei. Penandatanganan itu dilakukan di Gedung Kompleks Parlemen MPR- Senayan, Jakarta, Senin ( 4/6/2012 ). Rekonsiliasi itu disaksikan berbagai pihak seperti Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, pimpinan Komisi II, IV, dan IX DPR, perwakilan Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Walikota Surakarta Joko Widodo, dan lainnya.

Wujud rekonsiliasi itu dengan membentuk Dwi Tunggal dalam Keraton Surakarta Hadiningrat. Sinuhun Tedjowulan bersedia melepas gelar Paku Buwono XIII. Selanjutnya, Tedjowulan mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Penembahan Agung Tedjowulan. Setelah rekonsiliasi, Tedjowulan dan Paku Buwono XIII Hangabei bermasa-sama memimpin Keraton dalam Dwi Tunggal. “Kesepakatan ini merupakan titik awal untuk pelestarian Keranton Surakarta Hadiningrat kedepan,” kata Tejowulan disambut tepuk tangan.

Tejowulan juga meminta maaf kepada semua pihak atas kisruh dualisme kepemimpinan di Keraton yang telah menyita waktu. Kedepan, kedua pihak akan mempersatukan kembali keluarga yang saat ini masih belum bisa menerima perdamaian, serta mempersatukan sentana dan abdidalem Keraton. Nantinya, akan juga dibentuk Paranparanata atau penasihat untuk memberikan masukan untuk pelestarian budaya, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata di Keraton.

Menurut Dra. GRAy. Koes Moertiyah, M. Pd., Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, bahwa DPR adalah Lembaga Tinggi Negara yang setiap kegiatannya diatur dalam tata tertib. Kalau pejabat tinggi negara ini bertindak sebagai saksi, maka ada ketentuan dan sanksi hukum baginya. Saksi adalah yang melihat, mendengar dan mengetahui. Penandatanganan kerjasama ada ketentuan dan sanksi bahwa para pihak haruslah orang- orang yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan hukum. Antara lain sehat jasmani, rohani, fisik dan psikologis serta tidak dalam tekanan dan paksaan. Sedangkan materi yang disepakati haruslah hal- hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan publik dan tidak melanggar norma- norma dalam masyarakat.

” Sedangkan setahu saya, saudara Tejowulan ini sedang berhadapan dengan komunitas adatnya. Yang bersangkutan dikeluarkan karena telah melecehkan nilai- nilai tradisi luhur dan yang bersangkutan juga sedang menghadapi proses hukum di Puspom TNI. Disamping hal tersebut yang pasti, karena saya adalah Pengageng di Keraton Surakarta, maka tidak ada 2 Raja, hanya ada 1 Raja, sehingga rekonsiliasi 2 Raja adalah cacat hukum,” ungkap Koes Moertiyah kepada seputarnusantara.com di Komplek DPR- Jakarta, Senin 4 Juni 2012.

Koes Moertiyah mempertanyakan apakah rekonsiliasi tersebut murni sikap dan kebijakan pemerintah Indonesia dalam menyikapi persoalan- persoalan lembaga adat di Indonesia? Karena ada banyak lembaga adat di Indonesia yang mempunyai permasalahan serupa. Kalau ini sikap pemerintah, bukankah justru bertentangan dengan semangat amandemen UUD 1945, dimana disitu ada semangat yang mengakui dan menghormati masyarakat adat di Indonesia.

” Semangat ini sudah digeser maknanya dan diplintir sebagai upaya pemerintah untuk bisa mengkooptasi dan menisbikan peran dan fungsi lembaga adat yang sudah eksis ratusan tahun sebelum Indonesia lahir. Atau jangan- jangan ini permintaan sekelompok orang yang terlempar dari masyarakat adatnya yang diamini sekelompok oknum pemerintah, dengan seolah- olah sebagai sikap dan kebijakan lembaga pemerintah yang kebetulan yang bersangkutan sebagai pemimpin di lembaga tersebut,” ucap Politisi Partai Demokrat ini.

Lebih lanjut Koes Moertiyah menegaskan bahwa sungguh sangat disayangkan kalau ini terjadi, karena itu dapat dikatagorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, terlepas sebagai sikap dan kebijakan pemerintah ataupun sikap serta kebijakan pribadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa sikap dan kebijakan ini menimbulkan masalah di lapangan.

” Bahkan dari kata- kata dan ancaman pendobrakan, juga ancaman pengerahan aparatur negara, juga ancaman secara psikologis terhadap yang tidak setuju, dan dikatakan sebagai kegiatan melawan pemerintah. Jelas bahwa kegiatan ini ingin dikesankan sebagai sebuah kebijakan negara dan nistanya image yang muncul adalah negara yang otoriter, represif dan toleran dengan anarkisme, yang pasti kegiatan ini adalah sebagai kelanjutan kegiatan yang berlangsung di Jl. Mangun Sarkoro bulan Mei 2012 yang lalu,” ungkap Koes Moertiyah. (Aziz)

BERANDA | RSS 2.0 | KATEGORI: Headline | Both comments and pings are currently closed.

Comments are closed.

Tulisan dengan Kategori Headline