logo seputarnusantara.com

Muhammad Najib : Fungsi Edukasi Media Massa Harus Diperbaiki dan Diperkuat

Muhammad Najib : Fungsi Edukasi Media Massa Harus Diperbaiki dan Diperkuat

Ir. Muhammad Najib, M. Sc., Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN (Partai Amanat Nasional)

27 - Mei - 2013 | 20:12 | kategori:Headline

Jakarta. Seputar Nusantara. Kebebasan pers adalah kebebasan media komunikasi baik melalui media cetak maupun melalui media elektronik. Dengan demikian kebebasan pers merupakan suatu yang sangat fundamental dan penting dalam demokrasi karena menjadi pilar yang ke 4 setelah lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.

Jadi, pers yang bebas berfungsi sebagai lembaga media atau aspirasi rakyat yang tidak bisa diartikulasikan oleh lembaga formal atau resmi, tetapi bisa diartikulasikan melalui pers atau media massa. Pers yang bebas tidak bertanggung jawab, sering menimbulkan dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Dewasa ini, penggunaan pers atau media massa sebagai sarana komunikasi sangatlah menguntungkan karena kita bisa mendapatkan berita yang hangat dan cepat tanpa mengeluarkan uang yang banyak.

Media komunikasi modern seperti radio, televisi, online dan lainnya dengan mudah dapat kita gunakan. Dengan media komunikasi tersebut pertukaran nilai-nilai budaya antar bangsa akan cepat terjadi. Padahal belum tentu sesuai dengan budaya-budaya Indonesia. Program-program yang ditayangkan seperti kejahatan, perang dan hal-hal yang menjurus pornografi dapat menimbulkan dampak negatif yang menjurus pada kemerosotan moral masyarakat. Hal tersebut tentu dapat membahayakan bangsa ini, karena dampak yang ditimbulkan akan mengancam kesejahteraan, keamanan, kenyamanan dan kemakmuran rakyat.

Menurut Ir. Muhammad Najib, M. Sc., Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN (Partai Amanat Nasional), bahwa fungsi media pada dasarnya ada 3 yaitu sebagai penyebar informasi, pendidikan dan hiburan. Jadi tiga fungsi mendasar dari media tersebut harus benar- benar dilaksanakan oleh media massa.

Menurut Najib, sebetulnya eufora kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat dimulai pada era reformasi tahun 1998. Pada waktu itu, kita membuka pintu selebar- lebarnya bagi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada tahun 1998 itu juga kebebasan Pers dibuka selebar- lebarnya. Kemudian hal tersebut dimanfaatkan oleh insan media, karena saat orde baru media dikontrol ketat dan dibelenggu oleh pemerintah.

” Namun, setelah 15 tahun kita melewati masa- masa ini, kita sudah kembali ke masa yang normal. Walaupun kita sudah mempuyai KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang bertugas mengontrol media massa, namun orang atau pihak yang sudah diberikan kebebasan seluas- luasnya kemudian dikurangi, akan sulit untuk mengurangi kebebasannya. Terkadang media massa justru menyerang pemerintah dan DPR yang sudah memberikan kran kebebasan kepada Pers,” ungkap Muhammad Najib kepada seputarnusantara.com di Gedung Nusatara 1 DPR- Senayan, pada Senin 27 Mei 2013.

Najib memaparkan, sebetulnya DPR sudah mulai mendorong agar kalangan media juga melakukan introspeksi diri. Karena tidak semua media nyaman dengan kondisi seperti sekarang ini, karena banyak sekali tayangan- tayangan di media khususnya Televisi yang tidak mendidik, bahkan bisa dikatakan merusak mental generasi muda kita. Juga tayangan tersebut terkadang memprovokasi keharmonisan di masyarakat, dan ini sangat beresiko terhadap suasana aman dan nyaman, termasuk juga akan berpengaruh terhadap investasi di Indonesia. Namun hal ini mulai disadari oleh kalangan media.

” Masalahnya adalah bagaimana memulainya, ternyata ini tidak mudah. Saya melihat, mulai ada kesadaran di kalangan media untuk membangun kesadaran bagi insannya agar mulai memperbaiki tayangan- tayangan yang tidak mendidik masyarakat. Juga masalah kode etik jurnalistik dan kode etik wartawan Indonesia yang harus dipatuhi. Dewan Pers juga harus berinisiatif untuk membangun kalangan media agar memperbaiki tayangan- tayangannya. Media juga harus melakukan konsolidasi baik ownernya maupun wartawannya untuk memperbaiki berita dan tayangannya,” tegas Politisi dari PAN ini.

Najib menjelaskan bahwa, dari sisi fungsi informasi dan hiburan, porsinya sudah cukup, tapi dari sisi fungsi media sebagai sarana pendidikan, masih kurang porsinya. Mestinya, semua tayangan media baik itu informasi, olah raga, edukasi maupun hiburan, dibalik itu semua ada fungsi pendidikannya.

Menurut Najib, faktor-faktor penyebab penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berbicara serta kebebasan Pers diantaranya adalah ; lebih mengutamakan kepentingan ekonomis (bisnis oriented, red.), campur tangan pihak ketiga, keberpihakan, kepribadian dan tidak mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat.

” Di barat ada aturan, kalau ada perisetiwa pembunuhan, secara fisik tidak boleh ditayangkan siapa yang terbunuh dan tayangan proses pembunuhannya. Bahkan darah yang tercecer-pun tidak boleh ditayangkan di media. Karena hal tersebut dapat mengundang sesuatu yang negatif. Tetapi di Indonesia peristiwa pembunuhan, pemerkosaan, bentrokan, justru dieksploitasi dan menjadi buruan media karena menjadi daya tarik tersendiri, ini yang harus diperbaiki,” ungkapnya.

” Saya kira, apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan Komisi I DPR sudah maksimal. Karena kalau melampaui batas, nanti akan dituduh membelenggu kebebasan Pers. Maka kami lebih mendorong kalangan media, baik itu owner maupun wartawannya untuk memperbaiki tayangan- tayangannya, agar media kita menjadi lebih baik,” pungkas Muhammad Najib dipenghujung wawancara. (Aziz)

BERANDA | RSS 2.0 | KATEGORI: Headline | Both comments and pings are currently closed.

Comments are closed.

Tulisan dengan Kategori Headline