Opini : ” Korupsi Di Kabupaten Brebes “
Gerakan CSO Dalam Pemberantasan Korupsi
Oleh : Adhi Darmawan
( Peneliti The Habibie Center, Jakarta )
Melalui UU No 32/2004 Jo. UU No 22/1999, pemerintah daerah memperoleh kewenangan lebih luas mengelola pemerintahannya sendiri. Ada beberapa implikasi yang muncul setelah diterapkannya UU ini, salah satunya yaitu muncul perilaku menyimpang korupsi yang tidak lagi berpusat di Jakarta, tetapi menjamur hingga ke daerah, salah satunya seperti yang terjadi di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Dalam pemilihan kepala daerah langsung pada tahun 2007, Indra Kusuma (Indra) terpilih kembali sebagai Bupati Brebes kali kedua. Begitu besar pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya, mengingat Brebes merupakan salah satu kabupaten terbesar di Jawa Tengah, baik dari sisi luas wilayah maupun jumlah penduduknya. Tugas utama seorang bupati tentunya harus mampu menyelanggarakan pelayanan publik yang berkualitas yang merupakan substansi otonomi daerah. Khusus dalam bidang ekonomi, Bupati Brebeas juga memiliki tugas pokok menjaga stabilitas harga bawang merah yang merupakan komoditas utama penopang kesejahteraan masyarakat Brebes.
Sayangnya, pada periode kedua Indra menjadi Bupati, tugas mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas terhambat perilaku menyimpang, korupsi. Pada hari Selasa (15/12/2009), Indra resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dirinya menjadi tersangka akibat kebijakannya yang tidak populis pada periode sebelumnya atas pembelian sejumlah asset tanah yang diwarnai mark up. Menjadi pertanyaan kemudian kenapa kasus ini baru terungkap setelah periode berikutnya menjabat Bupati? Apa korelasinya dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Civil Society Organization (CSO)?
Korupsi dan Gerakan CSO
Salah satu indikator pelayanan publik berkualitas yaitu dengan rendahnya praktik-praktik korupsi. Adanya kasus korupsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kabupaten Brebes mengindikasikan bahwa pelayanan publik yang diselenggarakan belum berkualitas. Semakin marak berbagai praktik korupsi yang terjadi, maka mengindikasikan bahwa sistem pelayanan publik yang dijalankan tidak berkualitas.
Pada saat kasus korupsi ini baru terjadi, hampir sebagian besar masyarakat di Kabupaten Brebes tidak begitu peduli. Peran serta masyarakat sebagai power control di kabupaten Brebes masih tergolong rendah. Sekalipun ada gerakan kritis perilaku korup, gerakan tersebut tampak belum sustainable dan signifikan.
Legislative yang sejatinya “kepanjangan lidah” masyarakat sipil juga terlihat belum bekerja sesuai fungsinya. Sayup-sayup indikasi korupsi yang terjadi bak tak terhiraukan. Ketersumbatan aspirasi minoritas masyarakat kritis seolah sengaja atau tidak sengaja terjadi begitu saja.
Gerakan CSO tampak mulai terlihat begeliat vis a vis dengan eksekutif dan legislative setelah kali kedua Indra terpilih sebagai Bupati. Untungnya, ketersumbatan aspirasi yang terjadi dalam hubungan antara masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Brebes yang telah lama terjadi tidak berbuntut pada pembangkangan sipil (civil disobedience), dan kekacauan massal (chaos). Gerakan CSO masih berwujud wajar seperti aksi demonstrasi, hingga menyedot perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi penyidik. Langkah ini terbukti efektif dalam membongkar kasus korupsi yang terjadi.
Dari kasus yang terjadi di Kabupaten Brebes ini kita dapat menyimpulkan, semakin tinggi keberadaan gerakan sosial kritis maka semakin tinggi pula kontrol yang terjadi, sehingga, upaya penciptaan pemerintahan yang bersih dengan pelayanan publik yang berkualitas ada harapan dapat terwujud. Dalam kesimpulan ini berlaku hukum kausalitas, yang bisa kita sebut dengan dinamika korupsi. Hal ini tercermin dalam UU No 25 tahun 2009, yang mensaratkan keberadaan partisipasi masyarakat dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas.
Sebagai perilaku menyimpang, perilaku korupsi bersifat dinamis. Oleh karena itu, gerakan sosial kritis harus selalu dijaga kelestariannya. Selalu melihat kekuasaan dari perspektif kritis dan “curiga” tidaklah disalahkan dalam politik, sebagaimana Lord Acton pernah berkata Power tends to corrupct (kekuasaan itu cenderung corrupt).
Memasuki medio 2010 ini, kebijakan tidak populis di kabupaten Brebes muncul kembali, anggaran APBD sebesar Rp 1,44 miliar digelontorkan hanya untuk manambah fasilitas pimpinan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), berupa 4 (empat) buah mobil dinas bermerk Honda New CRV. Lebih dari itu, dibuatkan dua plat nomor yang berbeda, yakni merah dan hitam sehingga mobil dinas dapat digunakan untuk acara kedinasan dan di luar acara kedinasan. Sekalipun berharga lebih dari Rp. 350.000.000,00, Honda New CRV tidaklah dianggap sebagai mobil mewah seperti mobil dinas yang dipakai Bupati Brebes, Toyota Prado. Lagi-lagi, keberadaan CSO sebagai kontrol politik sangat dibutuhkan, sejauh mana gerakan CSO dapat bertahan? Gerakan CSO bubar, perilaku menyimpang seperti korupsi pun kian berkibar.
BERANDA | RSS 2.0 | KATEGORI: Opini | Both comments and pings are currently closed.