TKI Dianiaya dan Diperkosa, Dimana Wakil Rakyat TKI?
Kasus kekerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) kembali terjadi. Kali ini menimpa Sumiati. TKI asal Dompu NTB yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Arab Saudi ini mengalami luka di sekujur tubuh. Masih ingat di benak kita kasus Siti Hajar dan Winfaidah yang mengalami hal serupa di Malaysia.
Kasus kekerasan yang di alami oleh TKI di luar negeri ibarat fenomena gunung es. Pemerintah mengklaim kasus yang dialami hanyalah 0.1% dari jumlah TKI yang dikirim. Padahal, banyak kasus yang tidak tercatat oleh pemerintah karena sedikit sekali di antara mereka yang memiliki akses kepada penegak hukum. Kebanyakan TKI menjadi korban lari dari majikan dan akhirnya menjadi pekerja ilegal karena mereka tidak mengetahui ke mana dan di mana harus mengadukan permasalahannnya.
Pengiriman TKI ke luar negeri merupakan kebijakan nasional pemerintah dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara instan. Bank Dunia dalam data yang dikeluarkannya pada bulan Oktober 2010 mencapai US$ 7,1 miliar. Angka ini merupakan angka yang sangat signifikan dan merupakan pendapatan kedua terbesar negara setelah Minyak dan Gas (Migas). Saat ini mencapai 3 juta TKI bekerja di luar negeri. Mereka tersebar di 41 negara. Para TKI itu berasal dari 33 provinsi dan yang tersebar di 361 Kabupaten dan Kota di Indonesia (BNP2TKI, 2009)
Menurut data Depnakertrans pada bulan Februari 2010 TKI yang bekerja di luar negeri jumlahnya mencapai 2.679.536. Mereka tersebar di beberapa negara asia pasifik dan timur tengah. Malaysia sebanyak 1.2 juta orang. Arab Saudi 927.500. Singapura 80.150. Yordania 38.000. Bahrain 6500 orang. Kuwait 61.000 orang. UEA 51.350 dan Qatar 24.586 orang. Taiwan 130.000, Hongkong 120.000, dan Brunei Darussalam 40.450. TKI memberikan pemasukan devisa sebesar US$6.615 miliar (Depnakertrans, 2010).
Pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mengeluarkan data bahwa pada tahun 2008 terdapat 45.626 kasus TKI yang bekerja di luar negara. Peringkat pertama negara yang paling banyak kasus ialah Arab Saudi 22.035 kasus, Taiwan 4.497 kasus, Uni Emirat Arab (UEA) 3.866 kasus, Singapura 2.937 kasus, dan Malaysia 2.476 kasus.
Kasus yang paling banyak adalah adanya pemberhentian pekerja secara sepihak, yang jumlahnya mencapai 19.429 kasus. Sakit bawaan sebanyak 9.378 kasus sakit akibat bekerja 5.510 kasus. Sedangkan kasus gaji tidak dibayar mencapai 3.550 kasus, dan kekerasan mencapai 2.952 kasus.
Wakil Rakyat Dapil Jakarta II
Selama ini WNI di luar khususnya TKI banyak mengalami berbagai permasalah. Mulai dari masalah keimigrasian, perdagangan manusia, korban kekerasan majikan, penipuan, dan eksploitasi lainnya. Namun, mereka tidak tahu ke mana harus mengadu. Mereka hanya mengandalkan kantor perwakilan RI yang selalu mengaku berada dalam segala keterbatasan.
Satu hal yang terlupakan adalah bahwa sebenarnya TKI memiliki wakil rakyat yang saat ini duduk di DPR mewakili daerah pemilihan (Dapil) Jakarta II yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri. Namun, sangat disayangkan suara TKI di luar negeri seolah-olah diabaikan.
Padahal, suara WNI di luar negeri yang sebagian besar TKI sangat menentukan terpilihnya seorang caleg di DPR RI. Bahkan, ada juga wakil rakyat yang hampir 90% suaranya dari suara TKI di sebuah negara dengan berbagai stategi kampanye yang dilakukannya berhasil duduk di DPR. Walaupun di Jakarta tidak mendapatkan suara yang signifikan.
Menurut data KPU tahun 2009 Wakil rakyat yang terpilih dari dapil Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri) pada pemilu tahun 2009 adalah Melani Leimena Suharli (Partai Demokrat), Mohamad Sohibul Iman (Partai Keadilan Sejahtera), Fayakhun Andriadi (Partai Golongan Karya), Okky Asokawati (Partai Persatuan Pembangunan), Eriko Sotarduga (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat), Nurcahyo Anggorojati (Partai Demokrat).
Namun, dari amatan penulis, suara mereka nyaris tak terdengar ketika kasus-kasus kekerasan terhadap TKI terjadi. Bahkan, sampai saat ini menurut pantauan penulis hanya dua wakil rakyat saja yang secara resmi telah mengunjungi konstituennya yaitu M Sohibul Iman dan Fayakun Andriani. Itu pun masih di negara jiran Malaysia yang relatif lebih dekat dan murah.
Salah satu permasalahan yang mereka hadapi adalah selain biaya yang tinggi ternyata Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) belum memberikan pos anggaran kepada konstituen pemilih di luar negeri sehingga mereka enggan untuk mengunjungi konstitutennya di berbagai penjuru dunia. Di samping itu, para wakil rakyat dapil luar negeri tidak semua duduk di komisi I atau IX yang merupakan rekan kerja pemerintah dalam pengawasan TKI dan departemen luar negeri sehingga tidak mengikuti perkembangan permasalahan TKI dan WNI di luar negeri.
Solusi dan Saran
Menjadi wakil rakyat adalah amanah rakyat. Apalagi TKI yang merupakan penyumbang devisa terbesar negara. Sudah seharusnya anggota dewan yang terhormat yang terpilih dari Dapil luar negeri menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah rakyat. Khususnya TKI yang merupakan kaum yang tertindas. Mengabaikan konstituen di luar negeri merupakan pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan oleh WNI di luar negeri.
Sudah saatnya wakil rakyat Dapil luar negeri bersatu dan menyuarakan permasalahan WNI di luar negeri. Khususnya TKI yang sampai saat ini terus menjadi korban. BURT yang diketuai langsung oleh Ketua DPR sudah seharusnya mengambil perhatian serius dalam masalah ini karena telah mengabaikan para pemilih di luar negeri.
Bersuara dan menjadi penyambung lidah rakyat khususnya TKI pada dasarnya tidak memerlukan biaya yang mahal. Asal mereka mahu belajar dan sadar akan tanggung jawabnya kepada pemilih. Sudah saatnya wakil rakyat menunjukan integritasnya dalam berpolitik. Wallahualam.
Muhammad Iqbal
Presiden Union Migrant (UNIMIG) Indonesia
Pemantau Pemilu Independen Terakreditasi KPU 2009
Ketua PPI Malaysia 2007-2008
BERANDA | RSS 2.0 | KATEGORI: Opini | Both comments and pings are currently closed.