logo seputarnusantara.com

Gus Dur & Kisah Wartawan Keterlaluan

5 - Jan - 2010 | 14:56 | kategori:Tokoh

Gus Dur Pidato DudukJakarta. Seputar Nusantara. Gus Dur adalah sosok yang paling dicari media. Gus Dur juga sadar akan peran media dalam memperkuat pengaruhnya. Namun hubungan Gus Dur dan media tidak selamanya mulus. Bahkan media ikut andil menjatuhkannya dari kursi kepresidenan.

Tidak ada tokoh yang begitu banyak dicari keberadaannya, didengar keterangannya dan dikutip pernyataannya oleh wartawan, kecuali Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Saking kerapnya Gus Dur masuk koran, sampai-sampai Prof Affan Gaffar (almarhum) berujar, “Kalian itu keterlaluan, Gus Dur kentut saja kamu tulis.”

Kalau media mengutip pernyataan Gus Dur tentu bukan semata faktor popularitas. Nilai prominance atau ketenaran sudah barang tentu ada dalam dirinya. Penulis, pengamat, intelektual, pemimpin umat, pembela keadilan, dan seabrek predikat lain melekat pada dirinya. Tapi jika ketenaran saja yang jadi alasan media menampilkan Gus Dur, tentu media kita tidak ubahnya dengan acara infotainment.

Katakanlah nilai berita disederhanakan menjadi enam jenis: significan (penting), magnitude (besar), timeline (waktu kekinian), proximity (kedekatan), prominance (ketenaran) dan human interest (manusiawi). Maka dalam satu momen peristiwa yang melibatkan Gus Dur, keenam nilai berita itu ada dalam diri Gus Dur. Karena semakin banyak nilai berita semakin layak berita, logis jika media tiada hari tanpa Gus Dur.

Gus Dur tentu menyadari, peran penting media dalam menyebarluaskan gagasannya. Juga menyadari peran media dalam memperkuat pengaruh politiknya. Oleh karena itu Gus Dur adalah sosok yang dekat dan sangat percaya dengan wartawan. Tidak terbilang jumlah wartawan yang mempunyai kedekatan khusus dengannya. Ini bisa dilihat dari catatan obituari dari hampir semua media, tidak hanya di sini, tapi juga di luar negeri.

Gus Dur tidak pernah mengeluarkan pernyataan off the record, karena dia tahu wartawan yang diajak bicara sudah bisa memilih dan memilah pernyataannya. Jika media salah kutip atau salah maksud, dia tidak segan untuk menyalahkan wartawan dan mengoreksinya. Dia sama sekali tidak takut ancaman blacklist media, juga tidak gentar digugat oleh pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan. “Emang dia punya nama baik,” selorohnya.

Namun hubungan media dengan Gus Dur tidak selamanya berlangsung mulus. Hal ini terjadi bukan karena salah kutip atau salah maksud. Tapi lebih karena perbedaan pandangan dan sikap politik. Dan ini bisa dimengerti. Gus Dur adalah sosok egalitar, menghormati kebebasan, menghargai perbedaan; sedang media harus menjaga independesi, kebebasan dan profesionalitasnya.

Pada Mei 2001, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI menetapkan massa Gus Dur sebagai musuh kebebasan pers. Putusan ini berdasarkan banyaknya kasus yang melibatkan massa pendukung Gus Dur dalam menekan, mengitimidasi dan bahkan melakukan kekerasan terhadap wartawan dan media.

Sebagai presiden atau sebagai pemimpin umat, Gus Dur tidak pernah menyalahkan aksi-aksi tersebut. Sebaliknya, malah membenarkan dan memberi semangat. Puncak peristiwa kekerasan terhadap wartawan dan media terjadi dalam peristiwa pendudukan Kantor Jawa Pos di Surabaya pada 6-7 Mei 2000, hingga koran tersebut tidak bisa terbit.

Ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden pada SU-MPR Oktober 1999, tidak ada satu pun media yang meragukannya. Bahkan media yang selama Orde Baru mem-balcklist-nya, ikut-ikutan memuji-muji. Selama 8 bulan pertama masa kekuasaannya, dukungan media terhadap kebijakan  mendesaklarisasi istana, mengobrak-abrik institusi militer, mengacak-acak birokrasi, dan lain-lain, mendapatkan sokongan penuh dari media.

Namun memasuki semester kedua pada tahun 2000, media mulai menyurutkan dukungan karena media mulai melihat arah kebijakan Gus Dur yang tidak jelas. Memasuki 2001 sikap media kian jelas: mengkritik dan bahkan menolak banyak kebijakan Gus Dur. Sikap media yang terus-terusan kritis terhadap kekuasaan Gus Dur inilah yang mendorong massa pendukungnya mengamuk.

Menghadapi berbgai tekanan politik, khususnya dari DPR, laku politik Gus Dur kian tidak terukur. Harapan bahwa Gus Dur akan memulihkan situasi ekonomi dan politik, punah. Lebih dari itu, ketidakpercayaan terhadap rezim Gus Dur terus menguat. Pada titik itulah, media bersikap: kekuasaan Gus Dur tidak bisa dilanjutkan.

Sikap ini dikukuhkan oleh para pemimpin media yang bertemu di sebuah hotel, sebulan sebelum Gus Dur benar-benar jatuh. Sadar atau tidak, media saat itu bersatu dalam aliansi politik kelompok yang menghendaki Gus Dur tidak melanjutkan kekuasaan. Meskipun demikian, pada era pembangunan demokrasi ini, tidak ada orang yang paling dihormati media, kecuali Gus Dur. ( detik.com )

BERANDA | RSS 2.0 | KATEGORI: Tokoh | Both comments and pings are currently closed.

Comments are closed.